Senin, 29 Desember 2014

TUHAN, JANGAN AMBIL AYAHKU

TUHAN, JANGAN AMBIL AYAHKU

****

Mataku terlalu berat untuk dibuka.
Nafasku mulai tersengal-sengal.
Tubuhku tak bisa bergerak.
Di sekelilingku ada beberapa orang dengan suara yang sangat berisik.
Suara-suara itu tidak jelas, menggaung, berteriak.
Mereka semua berpakaian serba putih, kabur, nanar.
Perlahan aku mencoba fokus, mencoba mendengar dan melihat lebih baik.
Apakah aku sedang berada di surga?

“Yang pria tua tidak tertolong Dok!” kata suara seorang perempuan.
"Pakai alat kejut! 1..2..3” kata suara seorang lelaki.
Terdengar suara keras setelah lelaki berbaju putih itu meletakan sebuah alat didada ayahku. Tak ada reaksi, ayahku masih terbujur kaku di sebelahku.
"Masih tidak bernafas! Coba lagi. 1..2..3” Mereka memakai alat itu lagi, tapi sia-sia.
Aku baru ingat semuanya.
Ya, perlahan aku ingat semuanya. Dan ini bukan surga, ini...ambulan.

****
"Doni, kamu harus rajin belajar biar dapat juara 1 seperti kakak mu", ucap seorang pria bertubuh tinggi berisi, dengan rambut ikal dan kumis yang menghiasi bagian atas bibirnya.
"Iya pa, nanti doni belajar", aku yang dari tadi sedang asyik memainkan play station yang baru dibelikan ayahku beberapa hari yang lalu.
"Kamu sudah makan nak?", ucap ayahku.
"Sudah pa", jawabku sembari menunjuk perutku yang membuncit karena kekenyangan.
Itu adalah salah satu dari sejuta perhatian yang selalu diberikan oleh ayahku setiap harinya.
Saat itu umurku lima tahun setengah, dan ayahku berumur 40 tahunan .
Ayahku selalu mengabulkan keinginanku . Jika dikumpulkan semua mainan ku, mungkin sudah bisa dibentuk menjadi sebuah bangunan kecil .
Perhatiannya tak pernah hilang.
Entahlah, aku tidak bisa menghitung seberapa banyak kebaikan yang dia beri untukku.
Namun aku selalu bersikap acuh tak acuh terhadap semua itu. Dan di situlah semuanya berawal .

*****

"Doni. Kamu kenapa suka sekali berkelahi. Ini sudah kelima kalinya dalam setahun ini kami dipanggil untuk menghadap kepala sekolah !" ucap ayahku dengan nada tinggi.
"Lagian dia sih yang cari gara-gara duluan" jawabku membela diri.
"Siapa sih yang mengajari kamu berkelahi? Papa malu nak. Tolong lah nak, jangan berkelahi lagi.", ucapnya dengan tatapan nanar.
"Ah sudah lah pa, enggak usah dibahas. Lagian enggak penting.", ucapku singkat sembari menutup pintu kamarku, sambil meninggalkan ayahku yang masih berdiri di depan pintu kamarku dengan perasaan sedih bercampur kesal melihat tingkah buruk yang sering diperbuat olehku.
Ini bukan kali pertama aku berbuat seperti itu. Entah apa yang aku pikirkan, yang pasti aku selalu membuat malu ayahku dan membuat dirinya sedih.

*****

Ayahku berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya yang sudah bergejolak ketika mendengar kabar bahwa aku ketahuan merokok di sekolah.
"Kamu merokok nak?", tanya ayahku yang duduk di ruang keluarga, tepat di sebelahku.
Aku mengangguk dengan menahan rasa penyesalan yang teramat sangat atas perbuatan bodoh ku .
Kini bibirku sudah mulai agak menghitam, tidak lagi merah seperti dulu, karena nikotin yang aku konsumsi setiap harinya.
"Sejak kapan kamu mulai merokok nak?" ayahku benar-benar sudah tidak bisa lagi tersenyum.
"Sejak tiga bulan yang lalu pa", jawabku sambil kedua tangan ini menggenggam dengan erat, berharap semoga dia tidak memarahiku.
"Dulu papa juga bandel seperti kamu nak.", Ayahku tertawa. Ya dengan tawa yang terlalu dipaksakan.
Aku menunduk, memcengkram kuat celanaku sendiri.
"Doni minta maaf pa, doni sangat menyesal ." suaraku semakin pelan.
"Nak, papa hanya tidak ingin kamu menjadi seperti papa. Papa ingin kamu menjadi lebih baik dari papa. Papa ingin kamu menjadi seseorang yang suatu saat nanti berkata, 'Inilah aku' bukan 'Inilah ayahku'." ucap ayahku.
Kata-kata itu selalu terbesit di benakku.
Benar memang, ayahku juga seorang perokok yang sudah mulai merokok sejak dia masih seumuranku dan sampai saat ini dia tidak pernah bisa berhenti walau penyakitnya semakin lama semakin hebat .
Candu itu sewaktu-waktu bisa membunuhnya .
Setelah mengobrol kurang lebih dua jam di ruang tamu, kami memutuskan untuk tidur .
Malam ini terasa menyenangkan. Tentu saja, ayahku sudah bercerita banyak hal tentang masa mudanya. Mulai dari rokok, hingga tentang asmara dan berbagai hal lainnya.
Sejak malam itu pula, aku mulai untuk berhenti mengkonsumsi rokok, walau awalnya berat namun akhirnya aku bisa untuk terbiasa hidup tanpa rokok.

*****

Hati ayahku kembali terluka oleh ulahku.
Dia kembali bersedih atas kenakalanku.
Aku memang sudah tidak lagi merokok, tetapi kini aku mulai mabuk-mabukan.
Beberapa tahun awal ketika aku mulai mengkonsumsi barang haram itu, semuanya terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada yang mencurigakan.
Hingga beberapa tahun kemudian aku mulai tidak bisa lepas dari barang haram itu. Aku mulai mencuri uang ayahku demi membeli sebotol minuman haram untuk memenuhi hasratku dan itu terus berlanjut.
Hingga suatu ketika ayahku mendengar kabar dari salah seorang temannya bahwa temannya itu melihat aku mabuk-mabukan di pinggiran jalan bersama anak-anak muda seumuranku.
Hal itu benar-benar membuatnya kecewa besar, karena seumur hidup dia memang tidak pernah mengkonsumsi barang haram itu.
Malam itu dia memarahiku, membentakku, dan bagiku sudah sepantasnya aku mendapatkannya.
Malam pun terasa sangat panjang, dengan sejuta rasa penyesalan .
Sejak saat itu, aku dilarang keluar rumah. Akupun mengikuti home school .
Keseharianku aku lewati di rumah. Aku tidak diizinkan walau hanya satu langkahpun untuk melewati pintu depan rumahku.
Itulah hukumanku, mau tidak mau aku harus menerimanya.

*****

Malam itu adalah ulang tahunku yang ke sembilan belas tahun.
Ayahku mengajakku keluar untuk merayakannya berdua. Ya, hanya berdua. Karena kakak-kakak sedang sibuk dengan urusan bisnis mereka masing-masing.
Dia mulai memanasi mobil tuanya sore itu .
Aku mandi dan bersiap-siap untuk menikmati malam ini. Malam pertama untuk satu tahun setengah aku tidak pernah menginjakkan kaki ku di luar rumah.
Kami mulai berjalan dengan mobil tua ini, menuju ke keramaian kota, pergi menonton bioskop dan menikmati sate di pinggir jalan.
"Gimana Don rasanya berada di tengah-tengah keramaian kota setelah kurang lebih satu tahun setengah bersembunyi di rumah?", tanya ayahku sambil tertawa kecil.
"Rasanya asing pa. Rasanya aku kembali menjadi anak kecil yang baru melihat dunia" jawabku sambil tersenyum.
"Don, papa mau mengajakmu ke suatu tempat, keren deh pokoknya. Mau enggak?", tanya ayahku.
"Boleh pa. Emang mau kemana?", tanyaku balik.
"Yah kamu. Udah ikut aja, nanti kamu juga tahu", jawabnya sambil tersenyum.
Di dalam mobil itu ayahku memutar lagu kesukaan kami berdua, kami bernyanyi bersama.
Malam itu terasa sangat menyenangkan.
Sebuah truk yang tidak mematuhi lampu merah menabrak kami dari perempatan. Semua menjadi gelap.

*****

Mataku terlalu berat untuk dibuka.
Nafasku mulai tersengal-sengal.
Tubuhku tak bisa bergerak.
Di sekelilingku ada beberapa orang dengan suara yang sangat berisik.
Suara-suara itu tidak jelas, menggaung, berteriak.
Mereka semua berpakaian serba putih, kabur, nanar.
Perlahan aku mencoba fokus, mencoba mendengar dan melihat lebih baik.
Apakah aku sedang berada di surga?

“Yang pria tua tidak tertolong Dok!” kata suara seorang perempuan.
"Pakai alat kejut! 1..2..3” kata suara seorang lelaki.
Terdengar suara keras setelah lelaki berbaju putih itu meletakan sebuah alat didada ayahku. Tak ada reaksi, ayahku masih terbujur kaku di sebelahku.
"Masih tidak bernafas! Coba lagi. 1..2..3” Mereka memakai alat itu lagi, tapi sia-sia.
Aku baru ingat semuanya.
Ya, perlahan aku ingat semuanya. Dan ini bukan surga, ini...ambulan.

Tubuhku terasa sakit semua hingga sulit bergerak. Aku menengok ke arah Ayahku yang terbaring di sebelahku, ia benar-benar terpejam. Aku panggil namanya, ia tidak menyahut. Air mataku tidak terasa menetes, aku menggenggam tangan Ayahku.
Aku belum membuat permohonan apapun di hari ulang tahunku ini. Jika boleh aku meminta, tolong jangan dulu panggil Ayahku ke sisi-Mu.Tidak ada respon. Ayahku masih tak membuka matanya. Dokter dalam ambulan sudah menyerah.
“Suster, tolong catat tanggal kematian lelaki tua ini, lalu cek identitasnya,” Dokter itu berucap.

Jika harus kau panggil salah satu dari kami, panggil saja aku. Tapi tolong selamatkan lelaki yang aku sayangi ini.Tanganku semakin kuat menggenggam tangan Ayahku .
Detak jantungku melemah.
Ayahku tersedak, terbatuk, dia bangun. Ayahku yang perlahan sadar langsung melihat ke arahku dan mengguncang-guncang tubuhku.“Doni, bangun Nak!” Aku tersenyum, detak jantungku berhenti selamanya.

Dearest Ayah, Butuh sepersekian detik untuk mencintaimu, namun butuh beberapa tahun untuk menunjukkannya.
Terlalu tinggikah harapanku jika ingin membahagiakanmu meski kebahagiaan tersebut bukan semata untuk membuatmu tersenyum melainkan untuk membuat harimu terasa sangat bahagia?
Apa kau masih ingat ayah ketika hari itu kita mengobrol dan menghabiskan dua setengah jam dengan membahas berbagai hal yang pernah kau lakukan dimasa mudamu?
Kita memang berpisah ayah, tapi semua tentangku terbawa bersamamu.
Aku telah melewati tahunan bersamamu, dan mampu melewati banyak tahun lagi bersamamu.
Jika kata ‘sayang’ tidak berlebihan untuk memaparkan apa yang aku rasakan, maka izinkan aku mengucap ‘aku menyayangimu ayah'. Tanpa batas waktu.
Milikmu, Doni